News
Pakar Hukum UM Tanggapi Polisi Sweeping Buku
![Pakar hukum UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana [klikmu]](https://www.bindo.id/wp-content/uploads/2025/09/Pakar-hukum-UM-Surabaya-Satria-Unggul-Wicaksana-53d565b3.jpg)
Jakarta, Bindo.id – Pakar hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana memberikan kritik pada aksi polisi melakukan sweeping buku.
Satria menyebutkan fenomena sweeping buku ini bukanlah hal baru.
“Pada masa lalu, militer juga melakukan hal serupa terhadap buku-buku yang dianggap berhaluan kiri dengan dalih mengajarkan Marxisme atau Leninisme. Kini, polisi melanjutkan pola itu. Ini langkah yang memalukan, kalau bisa dibilang konyol,” tutur Satria, Jumat (19/9/2025), dilansir dari situs resmi kampus.
Pada konferensi pers di Mapolda Jawa Barat yang digelar Selasa (16/9/2025), aparat Polda Jawa Barat memamerkan sejumlah buku yang disita untuk barang bukti di kasus kericuhan aksi demonstrasi di Bandung.
Polisi mengatakan sejumlah buku memuat teori anarkisme dan diduga jadi referensi literasi massa aksi anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat.
Peradaban tumbuh dengan membaca buku
Satria menuturkan apapun isinya baik kiri ataupun kanan, ekstrem ataupun moderat, buku tetaplah sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Kata Satria, membaca serta mendiskusikan buku sebagai tanda bahwa peradaban masyarakat tumbuh.
“Mahasiswa, pelajar, atau masyarakat yang membaca buku lalu menjadi kritis hingga berani berdiskusi atau melakukan demonstrasi, itu seharusnya dirayakan sebagai tanda sehatnya demokrasi. Bukan justru ditakuti lalu dipidanakan,” ujarnya.
Dirinya mempertanyakan tentang dasar hukum aparat menjadikan buku untuk barang bukti pidana.
Aparat keamanan semestinya mengembalikan ruang kebebasan akademik, bukan mempersempitnya dengan sikap anti-ilmu pengetahuan.
Menjaga kebebasan akademik
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) sering menyampaikan kekhawatiran kembalinya praktik gaya Orde Baru, di mana kebebasan akademik dibungkam lewat pelarangan buku dan pembatasan diskursus kritis. Satria menanggapi dengan pandangannya
“Kebebasan akademik harus dijaga. Buku tidak bisa dijadikan alat bukti untuk memidanakan seseorang hanya karena bacaan mereka membuatnya kritis. Kalau praktik sweeping ini dibiarkan, kita berisiko mengulang normalisasi gaya lama seperti era NKK/BKK di masa Orde Baru,” tutur Satria.
Kata Satria, tanpa kajian serius dan objektif upaya tersebut justru bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan.
“Apakah aparat betul-betul membaca dan memahami isi buku dari awal hingga akhir, atau sekadar menjadikan sampul dan judul sebagai simbol untuk menakut-nakuti? Kalau seperti itu, ini bukan penegakan hukum, tapi kriminalisasi pengetahuan,” tuturnya.
Ikuti berita terkini dari BINDO di
YouTube, dan Dailymotion