Hukum & Kriminal
24 Tokoh Antikorupsi Menyampaikan Pandangannya ke MK Tentang Uji Materi UU Tipikor
![24 Tokoh Antikorupsi sampaikan Pandangannya ke MK bahas uji materi UU Tipikor [antaranews]](https://www.bindo.id/wp-content/uploads/2025/08/24-Tokoh-Antikorupsi-sampaikan-Pandangannya-ke-MK-7672c5d3.jpg)
Jakarta, Bindo.id – Ada 24 tokoh antikorupsi yang mengatakan pandangannya sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) tentang uji materi (judicial review) atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU 20/2001.
Mantan Komisioner KPK sekaligus Koordinator Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan, Erry Riyana Hardjapamekas menyebutkan uji materi itu sudah menarik perhatian pihaknya yang tergabung di Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan.
“Kemudian kami sepakat menyampaikan pandangan yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani bersama. Keterangan tertulis ini telah kami kirimkan sebagai amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK),” tutur Erry ketika konferensi pers Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan yang digelar di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) Syahril Japarin, mantan pegawai Chevron Indonesia Kukuh Kertasafari, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, dan mantan Direktur Utama Merpati Airlines Hotashi Nababan mengajukan permohonan uji materi kepada MK.
Secara prinsip, dirinya mengatakan para tokoh antikorupsi menyatakan setuju dengan permohonan uji materi yang diajukan.
Para tokoh antikorupsi mengatakan pemberantasan korupsi yang terjadi di Indonesia salah arah dan justru tak efektif.
Menurutnya korupsi tak lagi dilihat sebagai perbuatan dengan maksud untuk memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang tak sah. Akan tetapi sebatas pada semua perbuatan yang dianggap merugikan keuangan negara.
Ia berpendapat orang-orang yang memiliki itikad baik serta tak memiliki niat untuk korupsi, atau orang yang melaksanakan kewajibannya tanpa menerima suap dapat menjadi terpidana korupsi.
“Hal ini terjadi karena perkara korupsi lebih fokus pada unsur kerugian keuangan negara yang perhitungannya kerap tidak nyata dan tidak pasti, bahkan menggunakan asumsi atau prediksi,” katanya.
Ia mengatakan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menegaskan pada 2 elemen utama, yakni perbuatan melawan hukum serta berdampak pada kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Dirinya mengatakan Pasal 3 UU Tipikor mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang sebav jabatannya, yang berdampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada praktiknya, ekonom sekaligus mantan Staf Khusus Wakil Presiden RI Wijayanto Samirin mengatakan penanganan perkara korupsi di Indonesia cenderung lebih menegaskan pada aspek kerugian negara daripada unsur memperkaya diri secara melawan hukum.
Menurutnya, potensi rugi atau untung menjadi konsekuensi dari pengambilan keputusan, misalkan dalam konteks bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Hal ini mengaburkan esensi korupsi itu sendiri, yaitu perbuatan curang yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain,” ujar Wijayanto di kesempatan yang sama.
Di kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat mengatakan salah fokus dalam pemberantasan korupsi berimbas buruk terhadap kualitas penegakan hukum, menciptakan ketidakpastian bagi mereka yang bekerja pada sektor publik, serta menjadikan upaya pencegahan bukan sebagai prioritas.
“Dengan banyaknya contoh kasus yang ada, para pejabat termasuk direksi BUMN menjadi takut untuk membuat keputusan strategis yang dapat membawa risiko keuangan, meskipun keputusan tersebut bertujuan untuk kebaikan publik,” tutur Komaruddin.
Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyampaikan definisi korupsi pada UU Tipikor yang menegaskan tentang kerugian negara sebagai indikasi korupsi tak diakui negara lain.
Mengacu pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC) tahun 2003, ia menyebutkan korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain secara melawan hukum.
“Kelemahan ini membuat proses Mutual Legal Assistance (MLA) sulit dijalankan karena syaratnya adalah perbuatan tersebut harus dianggap sebagai kejahatan di kedua negara yang bekerja sama,” ungkap Hikmahanto.
Ikuti berita terkini dari BINDO di
YouTube, dan Dailymotion