News
Limbah Cair Sawit Diolah Jadi Listrik Dan Pupuk Organik Untuk Tekan Emisi
Kalimantan Tengah, Bindo.id – PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) lewat salah satu anak usahanya, PT Sukses Karya Mandiri (SKM) disebut mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari limbah cair industri pengolahan kelapa sawit (palm oil mill effluent/POME).
PT SKM mengubah limbah sawit tersebut menjadi listrik serta pupuk organik.
Biogas Plant PT SKM mengurangi emisi GRK dari 930.000 ton CO2e per tahun, jadi 75.000 ton CO2e.
Angka itu belum termasuk pengurangan emisi GRK dari peralihan pemakaian energi dari genset diesel ke pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg).
PLTBg tersebut memiliki kapasitas 2 megawatt (MW), dengan sebagian besar digunakan untuk menyuplai kebutuhan energi pabrik pengolahan inti sawit (kernel crushing plant).
Pemanfaatan listrik dari PLTBg secara total sekitar 1,6 MW atau seperti konsumsi solar 160 liter per jam.
Sebagai emisi GRK, yang jauh lebih kuat dari CO2, metana dari pome perlu diolah sebab berbahaya pada lingkungan.
PT SKM mengoperasikan Biogas Plant untuk nilai tambah dari upaya perusahaan memenuhi standar Biological Oxygen Demand (BOD). Ini dilakukan demi menjaga kesehatan lingkungan.
Proses mengubah gas menjadi listrik
Sebagai produk samping (byproduct) dari pabrik pengelolaan sawit, POME hanya bahan organik bersuhu hingga 60-70 derajat celsius.
Untuk mendinginkannya, POME ditampung di Cooling Pond sampai suhunya hanya 45-50 derajat celsius.
Sebelum dibawa ke Biodigester, POME terlebih dulu harus diproses di Mixing Tank untuk menyeragamkan pH maupun kandungan lainnya.
“Baru dicampur dengan yang dari Cooling Pond tadi. Dicampur dulu, supaya dia lebih mendekati komposisi yang ada di dalam. Jadi supaya tidak terkaget bakterinya,” tutur Mill Manager PT SKM, Roganda Sitorus saat di Kabupaten Sukamara, Kalimantan Tengah, Rabu (10/12/2025).
Di dalam Biodigester, gas ditangkap serta limbah akhir dari POME yang tak bisa dikelola dibuang lewat pompa outlet. Limbah tersebut punya kandungan BOD sebanyak 5.000 miligram per liter.
Jika belum sesuai dengan standar kandungan BOD untuk limbah kelapa sawit atau harus di bawah 3.000 miligram per liter, perlu diturunkan lebih dulu sebelum dibawa ke Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).
“(Setelah dari IPAL) Itulah yang dikirim ke lahan aplikasi perkebunan sawit sebagai pupuk organik,” ujar Roganda.
Kata Roganda, gas yang dikelola lewaf Biogas Plant itu sebenarnya belum murni metana atau memiliki kandungan hanya 55 persen.
Di dalam gas, masih terdapat H2S, CO2, serta oksigen. Gas yang akan dikonversi jadi listrik dengan mesin turbin harus memenuhi baku mutu.
Untuk mencapai baku mutu yang bisa ditoleransi, gas harus melewati proses di Scrubber. Scrubber memiliki fungsi penting yakni menurunkan nilai H2S. Selain Scrubber, gas juga harus diproses di Chiller & Heat Exchanger agar kelembapannya diturunkan.
Scrubber dan Chiller & Heat Exchanger sebagai proses treatment khusus supaya gas untuk menghasilkan listrik tak rusak.
Apabila produksi berlebihan, gas yang biasanya disalurkan ke Gas Engine untuk menghasilkan listrik akan dialihkan ke Flare.
“Ini jarang terjadi, tapi daripada gas metana terbuang ke alam, lebih baik dibakar (secara) sempurna di Flare. Itu sudah tidak menyisakan metana dan CO2,” ujarnya.
Pupuk organik
Limbah sisa dari POME yang tak dapat dikelola lagi menjadi listrik masih terdapat kandungan bahan organik. Sehingga, limbah sisa tersebut dikirim ke IPAL dan kemudian dimanfaatkan menjadi pupuk organik.
“Di lapangan, pupuk organik tersebut bukan disiram-siram, melainkan ditaruh secara berotasi atau bergantian pada kolam-kolam yang dibuat rapi di perkebunan sawit,” ungkap Roganda.
Ikuti berita terkini dari BINDO di
YouTube, dan Dailymotion
